Jika dihubungkan dengan Islam, pesta dan ritual ini telah banyak mengalami pasang surut. Acara ini telah dilaksanakan sejak kelahiran Karaeng Loe berabad-abad yang lalu. Sebelum Islam datang, acara ini tentu saja didasarkan pada prinsip, keyakinan dan tradisi masyarakat Makassar pra-Islam. Pada masa itu, praktek mistik, sesembahan, sesajen, arwah luluhur, judi, ballo' (minuman keras khas Makassar), sangat dominan dalam acara ini.
Islam masuk ke Bantaeng pada awal abad XVII. Meski sejarah Islam di Bantaeng belum terekonstruksi secara baik, banyak versi yang menjelaskan kedatangan Islam di kawasan ini. Islam misalnya pertama kali dibawa ke Bantaeng oleh pedagang Muslim pada XVI (Mahmud et al 2007: 147-8), Raja Tallo and Dato' ri Bandang pada awal abad XVII (Ahimsa-Putra 1993: 104), La Tenri Rua Sultan Adam Raja Bone XI, dan sebagainya. Yang penting dari ini semua, corak Islam yang mudah diterima ketika itu adalah tasawuf. Ini disebabkan oleh kecenderungan mistik dan kebatinan masyarakat Bantaeng. Pada 2007, jumlah umat Islam di Bantaeng mencapai 170.241 orang dari total penduduk 173.308 orang, atau sekitar 98.23% (BPS 2008: 35, 118).
Ritual ini terus berlangsung seperti apa adanya hingga suatu masa ketika gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Kahar Muzakkar menyingkir ke pedalaman Bantaeng, termasuk ke wilayah Gantarang Keke. Sejak Gerombolang, sebutan lain gerakan DI TII di Sulawesi Selatan ini, berada di pedalaman dan menguasai kehidupan masyarakat pedalaman, tradisi Pa'jukukang dan tradisi Gantarang Keke dilarang. Beberapa gaukang atau pusaka-pusaka peninggalan yang digunakan dalam ritual Pa'jukukang dihancurkan. Salah satu efeknya, para tetua adat serta pinati yang biasa melaksanakan ritual ini terpaksa bersembunyi di mana-mana agar tidak terbunuh. Ritual terbesar di Bantaeng ini kemudian kembali dilaksanakan ketika Gerombolang menyerah.
Ketika Islam telah dipeluk secara mayoritas oleh masyarakat Bantaeng, beberapa teknis pelaksanaannya telah mengalami perubahan dan adaptasi. Permainan judi dan ballo' (minuman keras) tidak lagi memeriahkan pesta Pa'jukukang ini. Selain itu, adu manusia hingga mati juga ditiadakan lama sebelumnya. Atas usul Raja Luwu (Sawerigading), adu manusia diganti dengan adu ayam (Salam 1997: 29-30). Semua ini telah digantikan dengan bentuk-bentuk kemeriahan yang tidak bertentangan dengan ajarah pokok Islam seperti seni rakyat assempa' dan a'lanja' (adu kekuatan kaki untuk laki-laki dan anak-anak), tari-tari daerah, bahkan qasidah.
Selain itu, waktu pelaksanaan ritual ini secara eksternal menggunakan penanggalan Islam atau Hijriyah. Meski secara khusus, penanggalan dilakukan secara sangat manual, yaitu dengan membakar dan menghabiskan 360 dian kanjoli (pelita/lilin) setiap tahun. Dan perhitungan inilah yang harus menjadi patokan, meski masyarakat selalu menyebut tanggal 10 Sya'ban sebagai waktu pelaksanaan acara ini. Dengan perrhitungan 360, maka waktunya tidak selamanya jatuh pada 10 Sya'ban.
Hal yang paling sering dituduhkan pada tradisi ini adalah syirik atau praktek politeisme. Salah satu karya tulis yang bernada menuduh ini tergambar dalam sebuah kumpulan cerpen karya Tasniah (2007: 6-9), meski menggunakan bahasa metaforik. Namun, secara tegas, pinati yang bertugas dalam ritual ini menolak total tuduhan ini. "Kami di sini berdoa kepada Allah," kata mereka kepada penulis. Dalam beberapa kesempatan, pinati di sana sering menjelaskan asmâ' al-husnâ yang 99. Menurut mereka, masih ada lagi satu nama yang keseratus yang disembunyikan. Nama inilah yang menjadi salah satu target mereka dalam tradisi Pa'jukukang. Doa-doa dan tradisi mereka dilakukan untuk mencari nama Allah yang akan menyempurnakan nama-nama Allah menjadi seratus.
Selain itu, sejauh pengakuan mereka dan pengamatan penulis, mereka adalah penganut Islam yang taat. Setiap kali waktu shalat masuk, mereka melaksanakan shalat. Di Korong Batu misalnya, penulis melihat sendiri Kr. Sukku shalat Magrib di samping batu samara, sementara pinati lainnya melayani pengunjung. Di Gantarang Keke, penulis bersama beberapa pinati dan masyarakat sekitar melakukan shalat Magrib berjamaah di mesjid yang terletak di samping Balla' Lompoa. Meski ketaatan menjalankan ibadah dengan praktek politesime tidak berhubungan secara mekanis, penolakan mereka atas tuduhan-tuduhan politeisme merupakan poin terpenting.
Pengunjung ritual ini kebanyakan perempuan yang juga mengenakan jilbab atau cipo'-cipo' (topi penutup rambut perempuan khas Bugis-Makassar yang telah berhaji). Mereka membawa makanan yang jika telah didoakan akan dimakan bersama. Mereka membawa ayam atau kambing untuk disedekahkan ke pinati. Mereka membawa sanak keluarga termasuk anak-anak untuk didoakan agar selamat dunia akhirat dan mendapat rezeki yang banyak, serta dengan mudah mendapatkan jodoh. Doa yang paling sering dipanjatkan adalah doa yang penulis tulis di atas, yang menyeru nama Allah dan Nabi Muhammad, dan memintakan agar para pengunjung sehat walafiat dan murah rezeki. Selain itu, bacaan hamdalah dan shalawat selalu mewarnai doa-doa mereka.
Meski ritual ini mengandung banyak unsur Islam, untuk melihat fenomena ini, penulis tidak ingin menggunakan istilah Islamisasi, inkulturasi, akulturasi, kontekstualisasi, atau konvergensi Islam dan budaya. Dalam Islamisasi yang ada adalah pemaksaan, sementara istilah-istilah berikutnya lebih menunjukkan adaptasi yang searah, pasif dan monolitik. Istilah yang lebih pas dengan tradisi ini adalah pribumisasi Islam, di mana terdapat aktor-aktor aktif dalam interaksi yang menciptakan akomodasi, dialog, negosiasi dan resistensi (Baso 2002: 7) sekaligus. Pribumisasi yang merupakan terjemahan indigenization (Wahid 2001: 117) merupakan medium kontestasi antara makna dan kekuasaan serta medium resitensi untuk menunjukkan identitas.
Dalam tradisi Pa'jukukang, meski aktor yang bermain aktif di dalamnya tidak dikenal sebagai pemuka agama atau mereka yang memiliki otoritas keagamaan, hasil kreativitas mereka menunjukkan hal-hal tipikal dalam pribumisasi. Penggunaan doa-doa Islam dan berbahasa Arab, penggantian tradisi mungkar (judi, minuman keras, dan adu manusia) menjadi tradisi baik (seni rakyat, tari-tarian), pembangunan mesjid di sekitar tempat upacara, dan sebagainya merupakan kreativitas yang lahir dari mereka untuk menunjukkan identitas dan lokalitas keagamaan (Islam) dan kebudayaan (Makassar) mereka sekaligus.[]
[i]Dalam hal ini, Pa'jukukang dapat bermakna dua; sebagai nama tempat dan nama tradisi atau upacara. Dalam tulisan ini, untuk menghindari kebingungan, penulis akan menggunakan nama tempat Nipa-Nipa sebagai ganti kata Pa'jukukang yang berfungsi sebagai nama tempat. Nipa-Nipa adalah desa yang menjadi tempat acara Pa'jukukang di Kecamatan Pa'jukukang. Namun, masyarakat lebih senang menggunakan kata Pa'jukukang untuk kedua makna tersebut. Perbedaannya dapat diketahui dengan memahami konteks, tentu dengan bahasa lokal.
[ii]360 adalah hasil perkalian 30 x 12: 30 menunjukkan jumlah hari dalam sebulan; 12 adalah jumlah bulan dalam setahun; dan 360 jumlah hari dalam satu tahun.
[iii]Batu samara terletak di tanah yang cukup tinggi di kawasan itu. Batu samara adalah sebongkah batu hitam yang besarnya sekitar 10cm x 15cm yang tertancap di tanah. Pada 1986, batu samara telah dibanguni persis seperti kuburan, yang mana batu itu menjadi nisannya. Batu ini juga telah ditutupi bangunan seluas 1.5m x 2m pada 2000 oleh Andi Hasbullah, seorang pengunjung asal Bone yang mendapat pesan dari neneknya untuk memugari situs ini melalui mimpi. Di luar bangunan, terdapat pagar kayu seluas 6m x 6m. Meski seperti kuburan, situs ini sama sekali bukan kuburan. Batu itu diyakini sebagai tempat turun dan naiknya tomanurung, seorang yang turun dari langit dan diyakini sebagai bagian asal-usul golongan elit di Sulawesi Selatan. (Fieldnote dan percakapan dengan pinati, jannang, punjuku, di antaranya Sattugo Kr. Lamo, Kr. Mayo, Kr. Sukku di sela-sela ritual Pa'jukukang, 12 Agustus 2008). ________________________________________
[iv]Bendera Merah Putih ini sudah seumur dengan kemerdekaan RI. Ada yang mau membelinya mahal, tetapi ditolak oleh pinati. Menurutnya, bendera ini sangat bernilai. Dan ada kecurigaan bahwa upaya pembelian ini bertujuan menghilangkan upacara Pa'jukukang. Para pengunjung hanya melihat bendera ini sebagai tanda. Tanpa bendera ini, tidak ada (tanda) acara Pa'jukukang. (Percakapan dengan Kr. Lamo, 12 Agustus 2008).
[v]Stand-stand dari bambu dan terpal ini dibangun sendiri oleh para pedagang. Mereka hanya membayar sewa tempat kepada panitia di Nipa-Nipa sebesar Rp. 50.000 per meter. Yang dihitung hanya lebar depan stand mereka, bukan luasnya. Untuk biaya sewa di Korong Batu pada hari kelima dan enam, mereka membayar Rp. 30.000 per meter. Sedangkan di Gantarang Keke, mereka membayar lebih rendah lagi. Perbedaan ini disebabkan oleh jumlah pengunjung di ketiga tempat pesta tersebut. (Percakapan dengan Darwis, pedagang di pesta Pa'jukukang, 14 Agutus 2008).
[vi]
[vii]Untuk biaya sewa di Korong Batu pada hari kelima dan enam lebih murah dari empat hari pertama di Nipa-Nipa; mereka membayar Rp. 30.000 per meter. Perbedaan ini disebabkan oleh jumlah pengunjung yang lebih sedikit. (Percakapan dengan Darwis, pedagang di pesta Pa'jukukang, 14 Agutus 2008).
Kelompok Study Dan Karya Putra Putri Bantaeng__Paragitte Sipakainga' Sipassiriki Lino Akhera' Siana'
Mari Berkarya Untuk Negeri
Senin, 19 Juli 2010
SEJARAH & BUDAYA ISLAM MAKASSAR-BANTAENG
SEJARAH & BUDAYA ISLAM MAKASSAR-BANTAENG
20 JULY 2010
Dalam setiap ritus tradisional, selalu ada dua kutub waktu yang selalu berhubungan; masa lampau dan masa sekarang. Masa lampau selalu dirujuk sebagai origins (asal mula) yang mesti dijaga otentisitasnya oleh masa sekarang. Rujukan ini salah satunya termanifestasi dalam ritus tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang meyakininya saat ini. Meyakini berarti mengakui adanya nilai (serta transmisinya) yang tertanam dan berurat akar dalam sebuah ritus. Bahkan, ritus pada gilirannya akan mempresentasikan bagaimana suatu masyarakat berpikir dan bertindak tentang dan untuk dirinya secara antropologis.
Untuk masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya, faktor Islam memainkan peran sangat penting dalam ritus tradisional. Islam dapat menjadi kekuatan bermata dua dalam satu waktu, meski dimainkan oleh aktor berbeda. Ada aktor yang membawa Islam yang tidak bisa beriringan dengan budaya lokal, dan sebaliknya aktor lain berhasil melakukan infiltrasi (dengan berbagai coraknya), dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam tradisi lokal. Meski friksi antara kedua aktor tersebut menyurut, dua kekuatan Islam ini selalu hadir dalam setiap isu-isu tradisi atau budaya lokal. Islam di Sulawesi Selatan pun demikian.
Bagaimana Islam dan nilai-nilai ke-Bugis-an dan ke-Makassar-an di Sulawesi Selatan bersinggungan, salah satunya dapat dilihat dalam semua ritus tahunan di daerah ini. Terlepas dari dominasi salah satunya (Islam dan Bugis/Makassar), interseksi itu misalnya dapat dilihat dalam upacara Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Cikoang (Takalar), Maudu Lompoa (Maulid Besar) di (Maros), Accera Kalompoang (pencucian benda pusaka Kerajaan Gowa) di Sungguminasa (Gowa), Maggiri di Pangkep, Appalili di Bontonompo (Gowa), Marumatang di Duampanuae (Sinjai), Akkaraeng di Kelara (Jeneponto), dan masih banyak lagi tentunya. Tulisan ini ingin menggambarkan interseksi nilai-nilai Islam dan Makassar yang bertemu dalam upacara tahunan Pa'jukukang di Bantaeng (Sulawesi Selatan).
* * * * *
Bantaeng yang terletak 120 km arah Selatan kota Makassar, sebenarnya memiliki sejarah besar dan tua yang sayangnya tidak terekam dalam catatan-catatan sejarah resmi di Sulawesi Selatan. Bougas (1998) dan Ahimsa-Putra (1993) merupakan salah satu peneliti yang pertama-tama menulis sejarah bantaeng secara serius. Hal yang paling sering diangkat tentang kota kecil berjuluk Butta Toa (Tanah Tua) ini misalnya bahwa Bantaeng adalah satu dari tiga (Luwu dan Uda) kawasan dan kerajaan penting di Indonesia Timur yang dikenal oleh Kerajaan Singosari, sebagaimana yang terekam dalam Negarakertagama (1365 M.). Penanggalan ini menunjukkan bahwa Bantaeng telah sangat eksis dan diakui sebagai salah satu kekuatan politik sejak abad XIII, masa di mana kerajaan lain di Sulawesi Selatan belum eksis sama sekali. Reid (1999: 121) juga menjelaskan salah satu aspek sejarah yang menunjukkan superioritas Bantaeng atas Gowa, sebuah kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, di masa kolonial, Bantaeng merupakan sebuah afdeling, ibukota wilayah yang mencakup Selayar, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto.
Kembali ke sejarah Bantaeng, Ahimsa-Putra (1993) pernah mengemukakan dua versi sejarah kerajaan Bantaeng. Versi pertama ia temukan dari koleksi Goedhart (1920) dan pernah dipublikasikan dalam Adatrechtbundels (1933). Sementara itu, versi kedua ia dapatkan pada 1990 dari Massoewalle, seorang sulewatang (wakil raja Bantaeng) yang terakhir. Meski tidak berbeda secara signifikan, kedua sumber ini sepakat tentang Tomanurung sebagai faktor penting dalam menjelaskan sejarah kerajaan Bantaeng. Jika sejarawan Sulawesi Selatan hampir sepakat bahwa Tomanurung hanya turun di Luwu, maka orang Bantaeng juga meyakini bahwa ada Tomanurung yang turun di Bantaeng. Mitos Tomanurung (orang yang turun dari langit) memang sangat berpengaruh dalam menentukan state of origins sebuah komunitas di Sulawesi Selatan. Mitos ini juga ingin menunjukkan pengaruh drama kosmik dalam menentukan asal-usul, sebuah mitos yang sangat umum dalam masyarakat Austronesia.
Singkat cerita, suatu ketika, Sawerigading (salah satu tokoh utama dalam epos La Galigo), Tomanurung yang mendarat di Luwu mengunjungi Bantaeng dengan berlabuh di Nipa-Nipa di pantai Pa'jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.[i] Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng. Versi lain mengatakan bahwa yang menikahi Dala adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya'ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa'jukukang. Versi lain menjelaskan bahwa acara ini diinisiasi oleh Karaeng Gantarang Keke yang memerintah pada abad XIV setelah Bantaeng mengalami masa paceklik. Setelah berdoa di Balla' Lompoa (istana) bersama abdi kerajaan, tanah menjadi subur dan laut/sungai dipenuhi ikan. Untuk mensyukuri ini, maka diadakanlah upacara yang kemudian disebut upacara Pa'jukukang (Rizal et al 2004: 74-5).
Perhitungan 10 Sya'bân ini juga dipadukan dengan perhitungan yang dilakukan secara sangat sederhana dan manual. Dalam Balla' Lompoa (rumah adat) di Gantarang Keke, ada seorang pinati (pelaksana adat/tradisi) yang rela tinggal seorang diri di Balla' Lompoa itu untuk menyalakan dian kanjoli (pelita) setiap malam. Di setiap tahun, perhitungan ini mulai dilakukan ketika ulang tahun (ritual Pa'jukukang) tiba (10 Sya'ban). Masyarakat di sekitas Balla' Lompoa memang selalu menyiapkan 360[ii] dian kanjoli setiap tahun. Sang pinati akan mengetahui hari Pa'jukukang tiba ketika semua dian kanjoli itu sudah habis (Asis 2006: 23). Saat ini, masyarakat pengunjung tetap acara ini telah menggunakan tanggal 10 Sya'ban untuk mengetahui waktunya. Pada setiap 10 Sya'ban, ribuan pengunjung dari segenap wilayah di Sulawesi Selatan, mengunjungi Bantaeng untuk melaksanakan ritual ini.
Pelaksanaannya tidak hanya berlangsung selama sehari, tetapi berhari-hari, teapynya tujuh hari tujuh malam. Persiapannya telah dilakukan tiga bulan sebelum 10 Sya'ban. Pada saat itu, mereka melakukan kawaru (musyawarah) untuk membahas pelaksanaan ritual hingga masalah-masalah pertanian dan perikanan. Dalam kawaru ini, pinati akan memanggil/mengundang secara mistik para pengunjung dengan membaca (di luar kepala):
btu Nes mko mai asiarai psosorn krea gtr ekek
niaerk krea loea.
Poro nlbua lloko aumurunu krea al tal
nbtu Ges tpel.
Battu ngaseng mako mae assiarai passossoranna Karaeng Gantarang Keke
niareka Karaeng Loe.
Poro nalabbuang laloko umuru'nu Karaeng Allah Ta'ala
nubattu ngaseng tampole
Datanglah Engkau semua menziarahi anak cucu Karaeng Gantarang Keke
yang bernama Karaeng Loe.
Semoga Allah memanjangkan umurmu,
sehingga Engkau bisa datang lagi tahun depan.
Salah satu hasil kawaru, akan ada pabala yang bertugas menentukan (memberi tanda pada) pohon kelapa yang baik, yang tidak boleh dipetik lagi hingga ritual Pa'jukukang itu mulai. Selain itu, ada juga jannang binanga yang bertugas memberi tanda larangan menangkap ikan di sungai yang akan digunakan sebagai tempat ritual. Ada juga tau toana yang bertugas menghiasi Balla' Lompoa, poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besat di samping Balla' Lompoa, serta membangun baruga (tempat pertemuan) di bawah poko' erasa itu. Di depan Balla Lompoa, masih di bawah poko' erasa yang lain, ada sebuah bale-bale (balai kecil) yang dulunya digunakan raja-raja untuk duduk dan beristirahat.
Pada tanggal 10 Sya'ban, sebelum acara dimulai, seorang yang disebut punjuku mengambil alat-alat penangkapan ikan dari tumappasere'na (sebuah rumah di Gantarang Keke) untuk dibawa ke Nipa-Nipa (Kec. Pa'jukukang) yang berjarak ±6km. Di jalanan, orang yang melihat punjuku akan berteriak "kalau'mi pajukuka" (nelayan sedang menuju laut). Di Nipa-Nipa, punjuku mengunjungi lebih dahulu batu samara[iii] untuk berdoa yang dilengkapi dengan pembakaran dupa. Setelah itu, pesta telah dimulai yang ditandai dengan penabuhan ganrang pakanjara (gendang). Punjuku kemudian pergi ke muara sungai untuk menebar jala, yang diiringi dengan teriakan "pajuku'mi tauwa" (kita telah menjadi nelayan). Ikan hasil tangkapannya kemudian dikirim ke pinati di Balla' Lompoa di Gantarang Keke sebagai tanda dan pemberitahuan bahwa pesta Pa'jukukang telah dimulai. Tanda lain yang menunjukkan adanya pesta Pa'jukukang di tempat itu adalah bendera merah putih yang dipasang di depan bangunan batu samara dan spanduk Latar Nusa[iv] bertuliskan:
teb sipktauki
Tabe' Sipakatauki
Kita semua bersaudara
Pesta diramaikan oleh pedagang dan pengunjung yang datang silih berganti selama empat hari di Nipa-Nipa. Pada pesta Pa'jukukang 1429/2008 yang penulis kunjungi dan amati ini, pesta berlangsung sangat meriah. Kawasan pinggir pantai yang setiap tahun menjadi tuan rumah hajatan ini tiba-tiba tersulap bak pasar malam. Kawasan sepanjang 200 meter ini dipenuhi oleh pedagang dan pembeli, lengkap dengan stand darurat mereka.[v] Para pedagang bahkan masih mengambil tempat di barisan kedua dan ketiga di belakang barisan pertama di dua sisi jalan, sehingga kadang membuat macet jalan propinsi/poros Bantaeng-Bulukumba itu. Mereka rata-rata pedagang keliling yang memang sering berjualan pada event-event tertentu seperti pasar malam di berbagai kota dan daerah. Pedagang yang penulis kunjungi rata-rata berasal dari Bulukumba, sebuah kabupaten tetangga Bantaeng. Mereka berjualan pakaian, alat-alat rumah tangga, mainan, hingga makanan. Mereka melakukan aktivitas jual-beli nan-stop 24 jam selama empat hari, siang dan malam. Mereka dan anak-anak mereka tidur di sekitar barang-barang jualan. Pengunjung yang datang lebih banyak melakukan transaksi jual-beli, atau membeli makanan dan dimakan di sana atau allampa nganre-nganre ri Pa'jukukang (Tasniah 2007: 6), dari pada sebagai pengunjung ritual. Di awal-awal acara, para pengunjung membeli ikan yang ditangkap punjuku dari sungai atau tambak raja. Ikannya dianggap memiliki kekuatan yang dapat menyehatkan badan, menyembuhkan dan menolak penyakit serta kekuatan-kekuatan jahat (Asis 2006: 18).
Pengunjung ritual datang dari berbagai daerah. Biasanya, pengunjung ritual ini datang tiap tahun. Menurut salah satu informan, untuk kawasan Tompobulu, dataran tinggi yang menjadi field site penulis, pengunjungnya banyak berasal dari desa Bulu-Bulu. Pengunjung ritual ini bahkan datang dari luar Sulawesi Selatan, seperti Nusa Tenggara. Mereka datang untuk berdoa atau didoakan oleh pinati. Biasanya, mereka datang dengan membawa anggota keluarga serta makanan (nasi ketan hitam dan putih beserta lauk-lauk khas Bugis-Makassar). Ada juga yang membawa hewan (kambing atau ayam) sebagai seserahan dan kemudian disedekahkan kepada pinati. Mereka berdoa atau didoakan agar segala hajat, niat, nadzar dan keinginannya terkabul. Harapan mereka bermacam-macam, mulai dari masalah pertanian hingga jodoh. Salah satu bacaan yang penulis perhatikan adalah bacaan hamdalah dan shalawat yang dibacakan kemudian ditiupkan ke air mineral dalam botol. Air itu kemudian digunakan sebagai obat dan penangkal kejahatan. Selain itu, doa yang paling sering dipanjatkan oleh pinati iadalah:
a krea al tal muhm. ser mgsiNi atnu.
lbuaGi aumurun. nulmoriaGi del.
O Karaeng Allah Ta'ala Muhammad, sare magassingi atannu,
labbuangi umuru'na, nulammoriangi dalle'na.
Ya Allah Ta'âlâ dan Muhammad, berilah kesehatan hamba-Mu,
panjangkan umurnya, dan lapangkan rezekinya.
Biasanya pada malam hari (pas setelah magrib), ada pertunjukan tari-tari tradisional serta seni-seni rakyat seperti sisempa' dan a'lanja. Sisempa' adalah saling menendang hingga ada yang mengaku kalah, sedangkan a'lanja adalah saling menendang betis hinga ada yang merasa kalah. Kedua seni rakyat ini biasa dilakukan oleh laki-laki dan anak-anak. Suasana keakraban dan canda tawa sangat dominan dalam pelaksanaan seni rakyat ini. Tanda akan dimulai seni rakyat ini adalah jika salah satu pinati (saat itu Kr. Sukku) telah mencabut bendera dan dibawa ke pinggir laut. Ia ditemani oleh dua penabuh ganrang pakanjara. Selama berjalan dari batu samara ke pinggir laut, ganrang pakanjara ditabuh. Orang-orang kemudian mengikuti rombongan ini ke pinggir pantai. Sisempa' dan a'lanja dilakukan malam hari pas setelah magrib. Pinati dan penabuh ganrang pakanjara biasanya mengundang penonton (laki-laki dan anak-anak) untuk saling mengadu kekuatan. (Fieldnote).
Setelah empat hari (10-13 Sya'ban) di Nipa-Nipa, pesta kemudian berpindah ke Korong Batu, tujuh kilometer dari Nipa-Nipa ke arah Bulukumba. Lokasi pesta juga berada di salah satu ruas jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Karena tanah berumput tersebut kosong, maka para pedagang hanya berjualan di ruas dalam jalan, berbeda dengan pesta di Pa'jukukang yang menggunakan dua ruas jalan. Pedagang yang ada di Karang Batu adalah pedagang yang berjualan di Nipa-Nipa sebelumnya. Namun jumlah pedagang di Korong Batu lebih sedikit dari pedagang di Nipa-Nipa. Pengunjungnya juga lebih sedikit. Stand dari bambu dan terpal milik pedagang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki ruas dan blok yang dapat digunakan pengunjung/pembeli berjalan.[vi][vii]
Batu samara di Korong Batu berada di belakang stand-stand pedagang, di tanah yang lebih tinggi. Sama dengan di Nipa-Nipa, batu samara juga berbentuk kuburan, tetapi bukan kuburan. Situ situ hanya dikelilingi oleh dinding setinggi satu meter seluas 2.5m x 4m. Atap sengnya ditopang oleh kayu yang ditancapkan di dinding batunya. Di depan situs itu terdapat sebuah balai-balai dan sebuah pohon agak besar. Bendera Merah Putih sebagai tanda pesta ditancapkan di pohon tersebut, sedangkan spanduk Latar Nusa ditempelkan di dinding situs tersebut. Acara dan materi ritual di Korong Batu yang berlangsung dua hari (hari kelima dan keenam) juga sama dengan yang di Nipa-Nipa. Para pedagang dan pengunjung menginap di stand masing masing dua hari dua malam (14-15 Sya'ban).
Sementara itu, pada hari keenam (15 Sya'ban), masyarakat Di Gantarang Keke bersiap-siap menyambut tamu, pedagang dan pengunjung yang akan datang dari Korong Batu ke Gantarang Keke. Secara khusus, mereka akan bertindak sebagai tuan rumah, dengan menyajikan makanan khas pesta Pa'jukukang bernama kaloli yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus daun janur. Bentuknya persegi empat, sekitar 3cm x 15cm. Kaloli biasanya dihidangkan dengan lauk lainnya, khususnya ikan. Ada yang percaya, bahwa daun janur yang telah dibuat kaloli, jika dibuang ke laut atau sungai, akan berubah menjadi ikan (Percakapan dengan Saliha, 17 Agustus 2008).
Pada hari ke tujuh (16 Sya'ban), rombongan bergerak ke Gantarang Keke yang berjarak sekitar 10km dari Korong Batu. Balla' Lompoa di Gantarang Keke berbentuk rumah panggung kecil berukuran 4m x 6m, memiliki sembilan tiang, satu tangga dengan sembilan anak tangga, dan sebuah tumpukan batu berbentuk gunung di bawah rumah yang hampir mencapai lantai rumah. Balla' Lompoa dipagari dengan kayu berukuran 10m x 12m. Meski masih bagian dari pesta atau tradisi Pa'jukukang, orang-orang lebih banyak menyebut pesta yang diadakan pada hari ke tujuh dan ke delapan (16-17 Sya'ban) di Gantarang Keke ini disebut Pesta Adat Gantarang Keke. Ini juga terlihat dalam spanduk yang terpasang di jalan masuk lewat Dampang dan panggung acara.
Kompleks Balla' Lompoa di Gantarang Keke terdiri dari satu Balla' Lompoa, tiga poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besar, balai-balai raja di depan Balla' Lompoa, baruga (balai terbuka) di bawah poko' erasa terbesar, arena ammanca' (silat), dan pocci' butta (pusat bumi) berbentuk lingkaran elips. Dulu, ada empat bambang (gerbang utama yang hingga kini masih ada) yang digunakan tamu-tamu kerajaan masuk ke kompleks Balla' Lompoa: utusan Bone memasuki bambang dari arah Dampang; utusan Luwu menggunakan bambang dari arah Lembang; utusan Gowa menggunakan bambang dari arah Kaluku; dan utusan Bantaeng dan Binamu memasuki bambang dari arah Lembang Tanah Loe. Kompleks eksklusif itu dikelilingi oleh satu mesjid dan 31 rumah penduduk.
Pesta Adat Gantarang Keke memiliki acara yang lebih bervariasi. Selain acara ritual dan pertunjukan seni rakyat, terdapat pesta makan kaloli dan electone (keyboard tunggal) yang menyajikan lagu-lagu daerah dan dangdut. Cara pengunjung ritual memasuki Balla' Lompoa juga unik. Saat melangkah menaiki tangga dan memasuki Balla' Lompoa, pengunjung mesti selalu meletakkan kaki kanan di depan; posisi terdepan kaki kiri hanya sejajar dengan kaki kanan. Ketika keluar, mereka mesti berjalan mundur.
20 JULY 2010
Dalam setiap ritus tradisional, selalu ada dua kutub waktu yang selalu berhubungan; masa lampau dan masa sekarang. Masa lampau selalu dirujuk sebagai origins (asal mula) yang mesti dijaga otentisitasnya oleh masa sekarang. Rujukan ini salah satunya termanifestasi dalam ritus tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang meyakininya saat ini. Meyakini berarti mengakui adanya nilai (serta transmisinya) yang tertanam dan berurat akar dalam sebuah ritus. Bahkan, ritus pada gilirannya akan mempresentasikan bagaimana suatu masyarakat berpikir dan bertindak tentang dan untuk dirinya secara antropologis.
Untuk masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya, faktor Islam memainkan peran sangat penting dalam ritus tradisional. Islam dapat menjadi kekuatan bermata dua dalam satu waktu, meski dimainkan oleh aktor berbeda. Ada aktor yang membawa Islam yang tidak bisa beriringan dengan budaya lokal, dan sebaliknya aktor lain berhasil melakukan infiltrasi (dengan berbagai coraknya), dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam tradisi lokal. Meski friksi antara kedua aktor tersebut menyurut, dua kekuatan Islam ini selalu hadir dalam setiap isu-isu tradisi atau budaya lokal. Islam di Sulawesi Selatan pun demikian.
Bagaimana Islam dan nilai-nilai ke-Bugis-an dan ke-Makassar-an di Sulawesi Selatan bersinggungan, salah satunya dapat dilihat dalam semua ritus tahunan di daerah ini. Terlepas dari dominasi salah satunya (Islam dan Bugis/Makassar), interseksi itu misalnya dapat dilihat dalam upacara Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Cikoang (Takalar), Maudu Lompoa (Maulid Besar) di (Maros), Accera Kalompoang (pencucian benda pusaka Kerajaan Gowa) di Sungguminasa (Gowa), Maggiri di Pangkep, Appalili di Bontonompo (Gowa), Marumatang di Duampanuae (Sinjai), Akkaraeng di Kelara (Jeneponto), dan masih banyak lagi tentunya. Tulisan ini ingin menggambarkan interseksi nilai-nilai Islam dan Makassar yang bertemu dalam upacara tahunan Pa'jukukang di Bantaeng (Sulawesi Selatan).
* * * * *
Bantaeng yang terletak 120 km arah Selatan kota Makassar, sebenarnya memiliki sejarah besar dan tua yang sayangnya tidak terekam dalam catatan-catatan sejarah resmi di Sulawesi Selatan. Bougas (1998) dan Ahimsa-Putra (1993) merupakan salah satu peneliti yang pertama-tama menulis sejarah bantaeng secara serius. Hal yang paling sering diangkat tentang kota kecil berjuluk Butta Toa (Tanah Tua) ini misalnya bahwa Bantaeng adalah satu dari tiga (Luwu dan Uda) kawasan dan kerajaan penting di Indonesia Timur yang dikenal oleh Kerajaan Singosari, sebagaimana yang terekam dalam Negarakertagama (1365 M.). Penanggalan ini menunjukkan bahwa Bantaeng telah sangat eksis dan diakui sebagai salah satu kekuatan politik sejak abad XIII, masa di mana kerajaan lain di Sulawesi Selatan belum eksis sama sekali. Reid (1999: 121) juga menjelaskan salah satu aspek sejarah yang menunjukkan superioritas Bantaeng atas Gowa, sebuah kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, di masa kolonial, Bantaeng merupakan sebuah afdeling, ibukota wilayah yang mencakup Selayar, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto.
Kembali ke sejarah Bantaeng, Ahimsa-Putra (1993) pernah mengemukakan dua versi sejarah kerajaan Bantaeng. Versi pertama ia temukan dari koleksi Goedhart (1920) dan pernah dipublikasikan dalam Adatrechtbundels (1933). Sementara itu, versi kedua ia dapatkan pada 1990 dari Massoewalle, seorang sulewatang (wakil raja Bantaeng) yang terakhir. Meski tidak berbeda secara signifikan, kedua sumber ini sepakat tentang Tomanurung sebagai faktor penting dalam menjelaskan sejarah kerajaan Bantaeng. Jika sejarawan Sulawesi Selatan hampir sepakat bahwa Tomanurung hanya turun di Luwu, maka orang Bantaeng juga meyakini bahwa ada Tomanurung yang turun di Bantaeng. Mitos Tomanurung (orang yang turun dari langit) memang sangat berpengaruh dalam menentukan state of origins sebuah komunitas di Sulawesi Selatan. Mitos ini juga ingin menunjukkan pengaruh drama kosmik dalam menentukan asal-usul, sebuah mitos yang sangat umum dalam masyarakat Austronesia.
Singkat cerita, suatu ketika, Sawerigading (salah satu tokoh utama dalam epos La Galigo), Tomanurung yang mendarat di Luwu mengunjungi Bantaeng dengan berlabuh di Nipa-Nipa di pantai Pa'jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.[i] Di hari keempat, Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di Kecamatan Gantarang Keke saat ini. Di sini, Sawerigading menikahi Dala, putri Bantaeng. Versi lain mengatakan bahwa yang menikahi Dala adalah seorang pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya'ban di tiap tahunnya dan disebut upacara Pa'jukukang. Versi lain menjelaskan bahwa acara ini diinisiasi oleh Karaeng Gantarang Keke yang memerintah pada abad XIV setelah Bantaeng mengalami masa paceklik. Setelah berdoa di Balla' Lompoa (istana) bersama abdi kerajaan, tanah menjadi subur dan laut/sungai dipenuhi ikan. Untuk mensyukuri ini, maka diadakanlah upacara yang kemudian disebut upacara Pa'jukukang (Rizal et al 2004: 74-5).
Perhitungan 10 Sya'bân ini juga dipadukan dengan perhitungan yang dilakukan secara sangat sederhana dan manual. Dalam Balla' Lompoa (rumah adat) di Gantarang Keke, ada seorang pinati (pelaksana adat/tradisi) yang rela tinggal seorang diri di Balla' Lompoa itu untuk menyalakan dian kanjoli (pelita) setiap malam. Di setiap tahun, perhitungan ini mulai dilakukan ketika ulang tahun (ritual Pa'jukukang) tiba (10 Sya'ban). Masyarakat di sekitas Balla' Lompoa memang selalu menyiapkan 360[ii] dian kanjoli setiap tahun. Sang pinati akan mengetahui hari Pa'jukukang tiba ketika semua dian kanjoli itu sudah habis (Asis 2006: 23). Saat ini, masyarakat pengunjung tetap acara ini telah menggunakan tanggal 10 Sya'ban untuk mengetahui waktunya. Pada setiap 10 Sya'ban, ribuan pengunjung dari segenap wilayah di Sulawesi Selatan, mengunjungi Bantaeng untuk melaksanakan ritual ini.
Pelaksanaannya tidak hanya berlangsung selama sehari, tetapi berhari-hari, teapynya tujuh hari tujuh malam. Persiapannya telah dilakukan tiga bulan sebelum 10 Sya'ban. Pada saat itu, mereka melakukan kawaru (musyawarah) untuk membahas pelaksanaan ritual hingga masalah-masalah pertanian dan perikanan. Dalam kawaru ini, pinati akan memanggil/mengundang secara mistik para pengunjung dengan membaca (di luar kepala):
btu Nes mko mai asiarai psosorn krea gtr ekek
niaerk krea loea.
Poro nlbua lloko aumurunu krea al tal
nbtu Ges tpel.
Battu ngaseng mako mae assiarai passossoranna Karaeng Gantarang Keke
niareka Karaeng Loe.
Poro nalabbuang laloko umuru'nu Karaeng Allah Ta'ala
nubattu ngaseng tampole
Datanglah Engkau semua menziarahi anak cucu Karaeng Gantarang Keke
yang bernama Karaeng Loe.
Semoga Allah memanjangkan umurmu,
sehingga Engkau bisa datang lagi tahun depan.
Salah satu hasil kawaru, akan ada pabala yang bertugas menentukan (memberi tanda pada) pohon kelapa yang baik, yang tidak boleh dipetik lagi hingga ritual Pa'jukukang itu mulai. Selain itu, ada juga jannang binanga yang bertugas memberi tanda larangan menangkap ikan di sungai yang akan digunakan sebagai tempat ritual. Ada juga tau toana yang bertugas menghiasi Balla' Lompoa, poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besat di samping Balla' Lompoa, serta membangun baruga (tempat pertemuan) di bawah poko' erasa itu. Di depan Balla Lompoa, masih di bawah poko' erasa yang lain, ada sebuah bale-bale (balai kecil) yang dulunya digunakan raja-raja untuk duduk dan beristirahat.
Pada tanggal 10 Sya'ban, sebelum acara dimulai, seorang yang disebut punjuku mengambil alat-alat penangkapan ikan dari tumappasere'na (sebuah rumah di Gantarang Keke) untuk dibawa ke Nipa-Nipa (Kec. Pa'jukukang) yang berjarak ±6km. Di jalanan, orang yang melihat punjuku akan berteriak "kalau'mi pajukuka" (nelayan sedang menuju laut). Di Nipa-Nipa, punjuku mengunjungi lebih dahulu batu samara[iii] untuk berdoa yang dilengkapi dengan pembakaran dupa. Setelah itu, pesta telah dimulai yang ditandai dengan penabuhan ganrang pakanjara (gendang). Punjuku kemudian pergi ke muara sungai untuk menebar jala, yang diiringi dengan teriakan "pajuku'mi tauwa" (kita telah menjadi nelayan). Ikan hasil tangkapannya kemudian dikirim ke pinati di Balla' Lompoa di Gantarang Keke sebagai tanda dan pemberitahuan bahwa pesta Pa'jukukang telah dimulai. Tanda lain yang menunjukkan adanya pesta Pa'jukukang di tempat itu adalah bendera merah putih yang dipasang di depan bangunan batu samara dan spanduk Latar Nusa[iv] bertuliskan:
teb sipktauki
Tabe' Sipakatauki
Kita semua bersaudara
Pesta diramaikan oleh pedagang dan pengunjung yang datang silih berganti selama empat hari di Nipa-Nipa. Pada pesta Pa'jukukang 1429/2008 yang penulis kunjungi dan amati ini, pesta berlangsung sangat meriah. Kawasan pinggir pantai yang setiap tahun menjadi tuan rumah hajatan ini tiba-tiba tersulap bak pasar malam. Kawasan sepanjang 200 meter ini dipenuhi oleh pedagang dan pembeli, lengkap dengan stand darurat mereka.[v] Para pedagang bahkan masih mengambil tempat di barisan kedua dan ketiga di belakang barisan pertama di dua sisi jalan, sehingga kadang membuat macet jalan propinsi/poros Bantaeng-Bulukumba itu. Mereka rata-rata pedagang keliling yang memang sering berjualan pada event-event tertentu seperti pasar malam di berbagai kota dan daerah. Pedagang yang penulis kunjungi rata-rata berasal dari Bulukumba, sebuah kabupaten tetangga Bantaeng. Mereka berjualan pakaian, alat-alat rumah tangga, mainan, hingga makanan. Mereka melakukan aktivitas jual-beli nan-stop 24 jam selama empat hari, siang dan malam. Mereka dan anak-anak mereka tidur di sekitar barang-barang jualan. Pengunjung yang datang lebih banyak melakukan transaksi jual-beli, atau membeli makanan dan dimakan di sana atau allampa nganre-nganre ri Pa'jukukang (Tasniah 2007: 6), dari pada sebagai pengunjung ritual. Di awal-awal acara, para pengunjung membeli ikan yang ditangkap punjuku dari sungai atau tambak raja. Ikannya dianggap memiliki kekuatan yang dapat menyehatkan badan, menyembuhkan dan menolak penyakit serta kekuatan-kekuatan jahat (Asis 2006: 18).
Pengunjung ritual datang dari berbagai daerah. Biasanya, pengunjung ritual ini datang tiap tahun. Menurut salah satu informan, untuk kawasan Tompobulu, dataran tinggi yang menjadi field site penulis, pengunjungnya banyak berasal dari desa Bulu-Bulu. Pengunjung ritual ini bahkan datang dari luar Sulawesi Selatan, seperti Nusa Tenggara. Mereka datang untuk berdoa atau didoakan oleh pinati. Biasanya, mereka datang dengan membawa anggota keluarga serta makanan (nasi ketan hitam dan putih beserta lauk-lauk khas Bugis-Makassar). Ada juga yang membawa hewan (kambing atau ayam) sebagai seserahan dan kemudian disedekahkan kepada pinati. Mereka berdoa atau didoakan agar segala hajat, niat, nadzar dan keinginannya terkabul. Harapan mereka bermacam-macam, mulai dari masalah pertanian hingga jodoh. Salah satu bacaan yang penulis perhatikan adalah bacaan hamdalah dan shalawat yang dibacakan kemudian ditiupkan ke air mineral dalam botol. Air itu kemudian digunakan sebagai obat dan penangkal kejahatan. Selain itu, doa yang paling sering dipanjatkan oleh pinati iadalah:
a krea al tal muhm. ser mgsiNi atnu.
lbuaGi aumurun. nulmoriaGi del.
O Karaeng Allah Ta'ala Muhammad, sare magassingi atannu,
labbuangi umuru'na, nulammoriangi dalle'na.
Ya Allah Ta'âlâ dan Muhammad, berilah kesehatan hamba-Mu,
panjangkan umurnya, dan lapangkan rezekinya.
Biasanya pada malam hari (pas setelah magrib), ada pertunjukan tari-tari tradisional serta seni-seni rakyat seperti sisempa' dan a'lanja. Sisempa' adalah saling menendang hingga ada yang mengaku kalah, sedangkan a'lanja adalah saling menendang betis hinga ada yang merasa kalah. Kedua seni rakyat ini biasa dilakukan oleh laki-laki dan anak-anak. Suasana keakraban dan canda tawa sangat dominan dalam pelaksanaan seni rakyat ini. Tanda akan dimulai seni rakyat ini adalah jika salah satu pinati (saat itu Kr. Sukku) telah mencabut bendera dan dibawa ke pinggir laut. Ia ditemani oleh dua penabuh ganrang pakanjara. Selama berjalan dari batu samara ke pinggir laut, ganrang pakanjara ditabuh. Orang-orang kemudian mengikuti rombongan ini ke pinggir pantai. Sisempa' dan a'lanja dilakukan malam hari pas setelah magrib. Pinati dan penabuh ganrang pakanjara biasanya mengundang penonton (laki-laki dan anak-anak) untuk saling mengadu kekuatan. (Fieldnote).
Setelah empat hari (10-13 Sya'ban) di Nipa-Nipa, pesta kemudian berpindah ke Korong Batu, tujuh kilometer dari Nipa-Nipa ke arah Bulukumba. Lokasi pesta juga berada di salah satu ruas jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Karena tanah berumput tersebut kosong, maka para pedagang hanya berjualan di ruas dalam jalan, berbeda dengan pesta di Pa'jukukang yang menggunakan dua ruas jalan. Pedagang yang ada di Karang Batu adalah pedagang yang berjualan di Nipa-Nipa sebelumnya. Namun jumlah pedagang di Korong Batu lebih sedikit dari pedagang di Nipa-Nipa. Pengunjungnya juga lebih sedikit. Stand dari bambu dan terpal milik pedagang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki ruas dan blok yang dapat digunakan pengunjung/pembeli berjalan.[vi][vii]
Batu samara di Korong Batu berada di belakang stand-stand pedagang, di tanah yang lebih tinggi. Sama dengan di Nipa-Nipa, batu samara juga berbentuk kuburan, tetapi bukan kuburan. Situ situ hanya dikelilingi oleh dinding setinggi satu meter seluas 2.5m x 4m. Atap sengnya ditopang oleh kayu yang ditancapkan di dinding batunya. Di depan situs itu terdapat sebuah balai-balai dan sebuah pohon agak besar. Bendera Merah Putih sebagai tanda pesta ditancapkan di pohon tersebut, sedangkan spanduk Latar Nusa ditempelkan di dinding situs tersebut. Acara dan materi ritual di Korong Batu yang berlangsung dua hari (hari kelima dan keenam) juga sama dengan yang di Nipa-Nipa. Para pedagang dan pengunjung menginap di stand masing masing dua hari dua malam (14-15 Sya'ban).
Sementara itu, pada hari keenam (15 Sya'ban), masyarakat Di Gantarang Keke bersiap-siap menyambut tamu, pedagang dan pengunjung yang akan datang dari Korong Batu ke Gantarang Keke. Secara khusus, mereka akan bertindak sebagai tuan rumah, dengan menyajikan makanan khas pesta Pa'jukukang bernama kaloli yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus daun janur. Bentuknya persegi empat, sekitar 3cm x 15cm. Kaloli biasanya dihidangkan dengan lauk lainnya, khususnya ikan. Ada yang percaya, bahwa daun janur yang telah dibuat kaloli, jika dibuang ke laut atau sungai, akan berubah menjadi ikan (Percakapan dengan Saliha, 17 Agustus 2008).
Pada hari ke tujuh (16 Sya'ban), rombongan bergerak ke Gantarang Keke yang berjarak sekitar 10km dari Korong Batu. Balla' Lompoa di Gantarang Keke berbentuk rumah panggung kecil berukuran 4m x 6m, memiliki sembilan tiang, satu tangga dengan sembilan anak tangga, dan sebuah tumpukan batu berbentuk gunung di bawah rumah yang hampir mencapai lantai rumah. Balla' Lompoa dipagari dengan kayu berukuran 10m x 12m. Meski masih bagian dari pesta atau tradisi Pa'jukukang, orang-orang lebih banyak menyebut pesta yang diadakan pada hari ke tujuh dan ke delapan (16-17 Sya'ban) di Gantarang Keke ini disebut Pesta Adat Gantarang Keke. Ini juga terlihat dalam spanduk yang terpasang di jalan masuk lewat Dampang dan panggung acara.
Kompleks Balla' Lompoa di Gantarang Keke terdiri dari satu Balla' Lompoa, tiga poko' erasa (pohon beringin) yang sangat besar, balai-balai raja di depan Balla' Lompoa, baruga (balai terbuka) di bawah poko' erasa terbesar, arena ammanca' (silat), dan pocci' butta (pusat bumi) berbentuk lingkaran elips. Dulu, ada empat bambang (gerbang utama yang hingga kini masih ada) yang digunakan tamu-tamu kerajaan masuk ke kompleks Balla' Lompoa: utusan Bone memasuki bambang dari arah Dampang; utusan Luwu menggunakan bambang dari arah Lembang; utusan Gowa menggunakan bambang dari arah Kaluku; dan utusan Bantaeng dan Binamu memasuki bambang dari arah Lembang Tanah Loe. Kompleks eksklusif itu dikelilingi oleh satu mesjid dan 31 rumah penduduk.
Pesta Adat Gantarang Keke memiliki acara yang lebih bervariasi. Selain acara ritual dan pertunjukan seni rakyat, terdapat pesta makan kaloli dan electone (keyboard tunggal) yang menyajikan lagu-lagu daerah dan dangdut. Cara pengunjung ritual memasuki Balla' Lompoa juga unik. Saat melangkah menaiki tangga dan memasuki Balla' Lompoa, pengunjung mesti selalu meletakkan kaki kanan di depan; posisi terdepan kaki kiri hanya sejajar dengan kaki kanan. Ketika keluar, mereka mesti berjalan mundur.
Langganan:
Postingan (Atom)