Mari Berkarya Untuk Negeri

Mari Berkarya Untuk Negeri

Jumat, 23 Juli 2010

INTERAKSI MANUSIA ADAT KAJANG DENGAN LINGKUNGANNYA

PENDAHULUAN
Manusia dan lingkungan hidupnya adalah dua hal yang saling bergantung satu sama lain. Ada kaitan erat di antara kedua sistem ini. Manusia adalah suatu sistem kompleks dari makhluk hidup yang terdiri dari sel-sel di dalam tubuhnya. Untuk bertahan hidup (survival), manusia berinteraksi dengan lingkungan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan lingkungan hidup merupakan suatu sistem akbar dari kehidupan makhluk hidup dan di dalamnya termasuk manusia itu sendiri. Dengan singkat dikatakan bahwa manusia termasuk dalam sistem lingkungan hidup itu sendiri.
Kedua komponen kehidupan ini telah mengalami proses saling mempengaruhi satu sama lain sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali menginjakkan kakinya ke muka bumi, maka sejak itu pula proses itu dimulai. Proses saling mempengaruhi ini dapat kita lihat pada beberapa kasus dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang tinggal di daerah dingin (kutub utara misalnya) akan mencoba mengadaptasikan dirinya dengan memakai pakaian yang tebal sebagai penahan dingin. Contoh lainnya adalah ketika manusia ingin membuka lahan, maka dilakukanlah penebangan pohon sehingga terjadi perubahan lingkungan, misalnya lahan yang tadinya berupa hutan dapat berubah menjadi lahan persawahan atau suatu kota yang indah. Juga ketika manusia dalam kehidupannya meningkatkan pemakaian gas freon yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya lapisan ozon, dan akibatnya selanjutnya adalah terjadinya perubahan intensitas sinar matahari yang sampai ke bumi. Contoh-contoh ini menunjukkan pada kita bahwa proses saling mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia dengan lingkungannya.
Secara umum diketahui bahwa akibat kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sering terjadi degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan adalah menurunnya peruntukan lahan akibat kegiatan manusia di dalamnya. Contoh yang paling sering kita temui mengenai degradasi lingkungan adalah longsor akibat penebangan pohon di daerah yang memiliki kemiringan cukup besar dan juga banjir yang sering melanda karena kurangnya daerah resapan air, yang merupakan akibat dari berkurangnya pepohonan sebagai komponen utama peresap air. Hal-hal seperti itu sangat jelas merupakan dampak negatif dari tindakan manusia dalam mempengaruhi lingkungannya yang nantinya juga akan berdampak negatif terhadap manusia itu sendiri. Akibat dampak-dampak negatif yang timbul itu, maka perhatian terhadap keadaan lingkungan hidup mulai bermunculan satu per satu dari tiap kalangan, yang pada intinya mereka menuntut adanya perlakuan khusus terhadap lingkungan hidup agar kelestariannya tetap terjaga.
“Bumi bukan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita”. Demikian bunyi sebuah kalimat dari pemerhati lingkungan. Sebenarnya perhatian terhadap lingkungan hidup telah dimulai sejak dasawarsa 1970-an. Hal ini dijelaskan oleh Soemarwoto (2004 : 1):
Permasalahan lingkungan hidup, atau secara pendek lingkungan, mendapat perhatian yang besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konprensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm dalam tahun 1972. Konprensi itu terkenal pula sebagai Konprensi Stokholm. Hari pembukaan konprensi itu, tanggal 5 Juni, telah disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Dalam konprensi Stokholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu di antaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas besar di Nairobi, Kenya.
Selanjutnya Soemarwoto (2004 : 1) menjelaskan mengenai kemunculan perhatian lingkungan hidup di Indonesia. “Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah mulai muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang dikutip oleh media massa kita.” Hal ini menggambarkan kepada kita, bahwa masalah lingkungan sebenarnya telah lama mendapat perhatian. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari mengatakan bahwa hampir tidak ada perhatian yang terwujud di dalamnya. Sebagian orang mengasumsikan bahwa hal ini terjadi karena solusi yang diterapkan kadang mengalami penyimpangan ketika sampai di lapangan. Contoh misalnya peraturan tentang persentase hutan yang boleh dipotong adalah 30% dari keseluruhan hutan yang ada di suatu daerah. Dalam pelaksanaannya hal ini mengalami penyimpangan karena banyak kasus yang didapatkan bahwa pemotongan hutan melebihi ketentuan 30% tersebut. Dan parahnya lagi kadang hal tersebut diketahui oleh pihak yang terkait dan mereka tidak memberikan sanksi yang berat kepada pelakunya, sehingga hal itu terus saja terjadi dan semakin bertambah parah menjadi illegal logging (pembalakan liar).
Hal yang menarik ditemukan ketika kita mengamati kehidupan masyarakat adat yang umumnya tinggal di dalam hutan, misalnya manusia adat Kajang yang terletak di desa Tanah Towa, kabupaten Bulukumba. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar areal tersebut hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya.
Banyak penelitian yang menemukan bahwa ada kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat adat ini dalam mengelola dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kearifan lokal ini dipegang teguh oleh masyarakatnya dan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya, maka sanksi yang jelas dan berat sudah siap menanti pelakunya.
Oleh karena interaksi lingkungan yang terjadi antara manusia “Kajang-dalam” dengan lingkungannya yang berbeda dari biasanya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan di daerah ini. Dan hal ini pula yang mendasari dari penulisan makalah yang membahas kearifan lokal masyarakat adat Kajang dalam memperlakukan hutannya ini.
ISI
Lingkungan adalah suatu sistem yang di dalamnya termasuk makhluk hidup, salah satunya adalah manusia. Manusia dalam statusnya sebagai salah satu komponen di dalam sistem lingkungan, memperlakukan lingkungannya sebagai salah satu faktor penunjang kelangsungan hidup. Manusia mengelola lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dan proses ini telah berlangsung sejak lama yang diperkirakan sejak manusia pertama menginjakkan kakinya di muka bumi.
Awalnya manusia mengeksploitasi lingkungannya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata (survival). Peralihan zaman mengakibatkan perubahan pola pengelolaan lingkungan. Hari ini dapat kita lihat bahwa lingkungan telah menjadi salah satu komoditi bisnis yang menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Contoh yang paling nyata adalah eksploitasi hutan dengan tujuan yang cukup beragam.
Suryohadikusumo (dalam Ibrahim, 1996) menjelaskan manfaat dari keberadaan hutan. Beliau menyatakan bahwa terdapat manfaat langsung dan tidak langsung akibat keberadaan hutan sebagai salah satu komponen lingkungan. Namun manfaat tersebut dapat tetap dirasakan bukan hanya pada masyarakat kini, melainkan juga untuk masyarakat yang akan datang, jika diterapkan kebijaksanaan dalam pengelolaannya. Kebijaksanaan itu dapat berupa aturan-aturan dalam mengelola hutan secara khusus, dan lingkungan hidup secara umum.
Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut atau bersandar pada Pasang (pesan). Pasang yang dimaksud adalah pesan, amanat, perintah, yang bersifat memaksa dan mengikat penganutnya. Oleh karena sifat itulah maka Pasang ini mempunyai sanksi yang jelas dan tegas terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedudukan Pasang jika coba diteliti lebih lanjut, maka akan tampak bahwa Pasang -menurut penganutnya- setara kedudukannya dengan hadist dalam agama Islam. Di mana diketahui bahwa hadist adalah ucapan dan perilaku nabi yang dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, maka demikian pula halnya dengan Pasang yang berlaku di masyarakat adat Kajang. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.
Kondisi Geografis Desa Tana Toa – Kajang
Ibrahim (2006) menjelaskan mengenai kondisi letak geografis desa Tana Toa. Menurutnya, secara administratif desa Tana Toa merupakan satu dari sembilan belas desa yang berada dalam wilayah kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa merupakan desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat menjaga peradaban mereka hingga hari ini. Desa ini secara berbatasan dengan:
Sebelah utara : Tuli
Sebelah selatan : Limba
Sebelah timur : Seppa
Sebelah barat : Doro
Hasil wawancara dengan kepala desa setempat memberikan penjelasan bahwa luas wilayah desa Tana Toa ini adalah 331,17 ha secara keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang dalam maupun Kajang luar. Dan dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai lahan pertanian tadah hujan. Tanaman yang dibudidayakan di atas lahan seluas itu cukup beragam, di antaranya padi, jagung, coklat, kopi, dan lain-lain.
Desa ini dinamakan Tana Toa (tanah yang tertua di dunia) dikarenakan kepercayaan masyarakat adatnya. Ibrahim (2006) menjelaskan mengenai kepercayaan ini. Menurutnya, masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan (Turie’ A’ra’na) berada di dalam kawasan hutan dan dinamakan Tombolo’. Daerah itu diyakini sebagai Tana Toa atau daerah yang tertua di dunia, sehingga diabadikanlah namanya menjadi nama desa tersebut, yaitu desa Tana Toa.
Desa Tana Toa, secara nyata, mempunyai kondisi hutan yang sangat lebat. Jika diamati dengan teliti, hampir seluruh dusun yang berada di dalamnya di kelilingi hutan. Sama sekali tidak ada jalan beraspal di dalam kawasan ini. Hanya berupa jalan setapak yang terbuat dari batu-batu yang disusun secara teratur sebagai penanda jalan. Letak sawah pertaniannya adalah dekat rumah Amma Toa, tepatnya di bawah bukit. Cukup luas dan subur terlihat dari kejauhan.
Karakteristik Masyarakat Adat Desa Tana Toa – Kajang
Masyarakat adat Kajang dicirikan dengan pakaian serba hitam. Makna hitam ini menurut pemuka adat melambangkan kebersahajaan. Nilai kebersahajaan ini tidak saja dapat dilihat dari pakaian itu, melainkan juga terlihat dari rumah penduduk yang mendiami daerah dalam kawasan ini. Dari hasil observasi di lapangan diketahui bahwa tidak ada satupun rumah di dalam kawasan adat ini yang berdinding tembok. Semuanya berdinding papan dan beratap rumbia, terkecuali rumah Ammatoa yang berdinding bambu. Tidak akan kita temukan satu pun di dalam kawasan ini rumah yang modelnya seperti yang sering kita lihat di perkotaan. Semuanya sama bahkan terkesan seragam mulai dari bentuk, ukuran, dan warnanya.
Masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Makassar yang berdialek Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Olehnya itu, akan sangat sulit ditemukan orang yang mampu berbahasa Indonesia di dalam kawasan ini. Umumnya sebahagian besar penduduk tidak pernah merasakan bangku pendidikan formal, meskipun beberapa tahun terakhir ini telah didirikan sekolah tepat di depan pintu masuk kawasan ini.
Sebahagian besar penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan penenun. Aktivitas ini pun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup mereka. Nilai kesederhanaan atau kebersahajaan inilah yang membuat masyarakat adat Kajang identik dengan istilah “Tallasa’ kamase-masea” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang:
Ammentengko nu kamase-mase.
A’cci’dongko nu kamase-mase.
A’dakkako nu kamase-mase.
A’meako nu kamase-mase.
Artinya:
Berdiri engkau sederhana.
Duduk engkau sederhana.
Berjalan engkau sederhana.
Berbicara engkau sederhana.
Dan juga dalam Pasang:
Anre kalumannyang kalupepeang.
Rie’ kamase-masea.
Angnganre na rie’.
Care-care na rie’.
Pammalli juku’ na rie’.
Koko na rie’.
Balla situju-tuju.
Artinya:
Kekayaan itu tidak kekal.
Yang ada hanya kesederhanaan.
Makan secukupnya.
Pakaian secukupnya.
Pembeli ikan secukupnya.
Kebun secukupnya.
Rumah seadanya.
Tallasa’ kamase-masea ini adalah merupakan prinsip hidup masyarakat adat Kajang. Ia dipegang teguh oleh warganya, meskipun secara sadar mereka mengetahui bahwa hidup lebih sejahtera dapat mereka peroleh karena potensi sumber daya lingkungan (hutan) yang mendukung.
Hampir setiap masyarakat adat yang masih eksis di Indonesia, secara umum juga memiliki struktur lembaga di dalam adatnya masing-masing. Tidak terkecuali dengan masyarakat adat Kajang ini. Mereka mempunyai struktur lembaga yang menurut logika sulit dibuat oleh orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Bahkan yang lebih mengesankan adalah masing-masing individu yang masuk dalam struktur dan menduduki suatu posisi dalam lembaga adat, menjalankan amanahnya secara jujur dan konsisten. Mereka memahami arti tugas dan tanggung jawab meskipun tidak pernah mendapatkan pelajaran formal mengetahui hal itu. Satu-satunya yang mengajari mereka adalah adat yang mereka junjung tinggi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Struktur lembaga adat masyarakat ini begitu lengkap dengan menteri-menterinya. Sesuatu yang sulit dijelaskan dengan logika karena struktur tersebut disusun telah lama sebelum Indonesia merdeka dan oleh orang yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan.Pemimpin tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan di kawasan adat Tana Toa ini adalah Amma Toa. Amma Toa inilah yang bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pelaksanaan Pasang di komunitasnya. Sebagai wakil dari Turie’ A’ra’na di muka bumi, ia bertugas menjaga agar masyarakat tetap mentaati isi Pasang. Hal ini dijelaskan dalam Pasang yang berlaku di komunitas Amma Toa.
Anjo Karaenga se’reji, karaeng Allah Ta’alaji,
mingka rie’nikua karaeng labbiriyya.
Karaeng labbiriyya battuanna parekna Allah Ta’ala.
Karaeng Allah Ta’ala taniassengai niurang abbicara,
Jari annanroi karaeng di bohena linoa,
Iyami antu nikua ada, iyamintu Amma Toa
Artinya:
Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah Ta’ala
Tapi ada yang disebut raja mulia
Yang diciptakan oleh Allah Ta’ala
Karaeng Allah Ta’ala tidak dapat secara langsung diajak berbicara
Jadi Allah menetapkan wakilnya di bumi
Itulah yang disebut adat, itulah Amma Toa
Demikianlah alasan utama sehingga sampai hari ini, adat dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas Amma Toa masih tetap lestari. Disebabkan keberadaan seorang pemimpin adat, yang secara hakikat mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat beserta nilai-nilai yang berlaku di dalam komunitas adat desa Tana Toa.
Interaksi Masyarakat Adat Kajang dengan Lingkungannya
Prinsip hidup yang tertuang dalam “tallasa’ kamase-masea” ternyata menjadi salah satu alasan tetap lestarinya hutan yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa ini. Ibrahim (2006) menjelaskan hal ini secara gamblang. “Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situju-tuju (rumah seadanya) mengakibatkan pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral menjadikan hutan terjaga dengan lestari, meskipun bisa dimanfaatkan.” Bukti dari hal ini dapat kita lihat sekarang di dalam kawasan adat Amma Toa. Pepohonan ada seperti sedia kalanya, dan meskipun ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak boleh diambil oleh masyarakat. Singkatnya dibiarkan begitu saja.
Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.
Berikut ini adalah ringkasan aturan mengenai pemanfaatan hutan yang dikutip secara intensif dari Makalah “ “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat, Di Desa Tanatoa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan ”, yang ditulis oleh Tamzil Ibrahim (2006).
Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:
Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (pammantanganna sikamma To riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei nisambei kajua,
Iyato’ minjo kaju timboa.
Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka.
Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga,
Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna
Artinya
Tidak bisa diganti kayunya,
Itu saja kayu yang tumbuh
Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.
Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma Toa. Dan kalau ternyata terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat ini, maka akan dikenakan sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’ atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real (12 real) atau 24 ohang. Denda ini jika di-rupiah-kan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan. Jenis pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: ta’bang kaju (menebang kayu), rao’ doang (mengambil udang), tattang uhe’ (mengambil rotan), dan tunu bani (membakar lebah).
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Amma Toa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang. Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Amma Toa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi ringan (Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan). Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Hutan di kawasan adat Amma Toa diakui oleh masyarakatnya sebagai hutan adat karena adanya kepercayaan bahwa keberadaan mereka bersamaan dengan keberadaan hutan. Selain itu juga kehidupan mereka sangat erat dengan hutan, seperti pelaksanaan upacara adat yang dilakukan dalam hutan. Masyarakat juga percaya bahwa hutan mereka adalah sebagai tempat turunnya To mariolo (manusia terdahulu) yang diyakini sebagai Amma Toa I (Amma’ Mariolo) dan kemudian lenyap di tempat tersebut. Dan mereka juga meyakini bahwa hutan adalah tempat turun-naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan sebaliknya. Keyakinan atau kepercayaan inilah yang menyebabkan kuatnya keterikatan antara komunitas ini dengan hutan, sehingga tidak mengherankan jika hutan mereka relatif stabil dan lestari hingga hari ini.
Ajaran Pasang yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari komunitas Amma Toa ternyata dinilai ampuh dalam usaha melestarikan hutan mereka. Selain ajaran Pasang itu, juga terdapat aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.
Patuntung dalam bahasa Makassar diartikan sebagai penahan; terbentur. Hal ini berarti bahwa ada sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika ia tetap bersikeras melakukannya, maka ia akan terbentur sehingga berhenti. Kalau coba dianalisis, maka Patuntung ini adalah ajaran yang mengikat masyarakat adat Kajang, sehingga mereka akan berhati-hati untuk melakukan sesuatu.
Patuntung ini, seperti disebutkan di atas, mengikat masyarakat adat Kajang. Artinya ini hanya berlaku bagi masyarakatnya saja. Patuntung ini diasumsikan mengatur bagaimana cara masyarakatnya menjalin interaksi dengan lingkungan luar adat. Hal ini dapat dimengerti bahwa kondisi luar kawasan adat ini telah terinfeksi dengan berbagai paham dunia, salah satunya adalah kapitalisme. Jika paham ini sampai merasuki kawasan adat Amma Toa, maka kelestarian hutan tidak akan berlangsung lama. Olehnya itu, perlu ada aturan yang mengatur masyarakatnya dalam berinteraksi dengan masyarakat luar agar pengaruh masyarakat luar yang bersifat negatif, tidak diterapkan dalam kawasan adat.
PENUTUP
Penjelasan mengenai aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Kajang yang hingga hari ini masih eksis di nusantara Indonesia beserta dengan prinsip hidup bersahajanya (tallasa’ kamase-masea), ternyata menjadi jawaban terhadap pertanyaan mengapa hutan di Kajang masih tetap lestari hingga hari ini. Kearifan lokal yang dimiliki, yang merupakan implementasi ajaran-ajaran Pasang, telah membuka mata dunia akan eksistensi hutan yang lestari.
Teori “Keserakahan Manusia” tidak berlaku di kawasan Amma Toa ini. Meskipun teori itu ada, tapi adat mereka sebagai benteng yang kokoh menjadi penghalang utama. Sulit untuk dirobohkan karena ia dibangun oleh kesadaran masyarakatnya. Komunitas adat ini lebih memilih untuk hidup terbelakang dan jauh dari peradaban modern dibanding hidup dengan kelimpahan, tapi menafikan keberadaan lingkungan.
Hutan yang lestari itu ada, meskipun di dalamnya ada manusia. Hal ini dibuktikan oleh kawasan adat Amma Toa. Ada sekitar 40 ribu jiwa manusia di dalam kawasan ini, dengan sekitar 330 ha hutan yang masih utuh sampai sekarang. Cukup mengesankan. Namun yang lebih mengesankan adalah fakta bahwa manusia yang mengelola hutan ini adalah manusia-manusia yang hampir tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka tidak memiliki pengetahuan formal mengenai tata cara pengelolaan hutan yang baik, bahkan mereka tidak tahu baca-tulis. Satu-satunya yang mengajari mereka berinteraksi dengan lingkungan, memperlakukan hutannya secara bijak dan mengekang nafsu “kapitalisme”-nya adalah adat. Adat bagi mereka adalah sesuatu yang mereka junjung tinggi. Sesuatu yang mereka letakkan di atas kebutuhan hidup dan sesuatu yang mengajarkan mereka melangkah dengan baik dalam menjalani kehidupan dunia.
“Jangan lihat ayamnya, tapi lihat telurnya” adalah ungkapan yang selayaknya dipakai memandang hal ini. Secara sepintas, mereka adalah manusia yang ketinggalan zaman. Akan tetapi secara hakikat, mereka adalah teladan yang patut dicontoh dalam hal berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan tidak diperlakukan sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai sesuatu yang patut dijaga demi keberlangsungan hidup bersama.
Sebagai penutup, penulis mengutip lagi salah satu Pasang yang merupakan alasan terakhir tentang kelestarian hutan kawasan Amma Toa dan sebagai bahan renungan bagi kita semua.
Jagai linoa, lollong bonena.
Kammayya tompa langika.
Siagang rupataua.
Siagang boronga.
Artinya:
Peliharalah dunia beserta isinya.
Begitu juga dengan langit.
Dengan manusia.
Dan dengan hutannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azis, Marwan. Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa, Diakses pada Tanggal 29 November 2007. http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.
Ibrahim,Tamzil. 1996. Social Forestry (Perhutanan Sosial). Makalah Pengembangan Konsep Program Perhutanan Sosial.
Ibrahim,Tamzil. 2006. “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Desa TanaToa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Makalah Penunjang Komisi Nasional Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL).
Restu, Muhammad dan Emil Sinohadji. Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang). Diakses pada Tanggal 29 November 2007. http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Kalimat yang akrab didengar pada Hari Bumi, 22 April setiap tahunnya
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta, 2004), hal. 1.
Hasil diskusi penulis dengan Bapak Tamzil Ibrahim selaku dosen di sela-sela praktek lapang yang diadakan di desa Tana Toa, Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tanggal 16 – 18 November 2007.
Sebuah istilah yang membedakan antara masyarakat yang berada di dalam kawasan dengan yang berada di luar kawasan adat Amma Toa.
Penulis terkadang melakukan penulisan yang berlainan untuk penyebutan masyarakat adat Kajang. Kadang dengan kata komunitas Amma Toa, kawasan adat Kajang, dan lain-lain. Penulis tidak bermaksud untuk inkonsistensi, melainkan berupaya secara sengaja melakukan itu agar penulis tidak terlalu kaku dalam penyebutan masyarakat adat ini.
Tamzil Ibrahim, Social Forestry (Perhutanan Sosial), Makalah Pengembangan Konsep Program Perhutanan Sosial, 1996, hal.1.
Tamzil Ibrahim, “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Desa TanaToa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Makalah Penunjang pada Konas Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BKPSL), tgl. 15 -16 Mei 2006 di Banjarmasin, hal. 3.
Lihat http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.
Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 4.
Turie’ A’ra’na adalah bahasa Konjo yang digunakan masyarakat adat Kajang untuk menyebut kata Tuhan. Kata itu dapat diartikan sebagai Yang Berkehendak dalam bahasa Indonesia.
Penulis bersama warga dalam kawasan berjalan-jalan melihat kondisi lingkungan sekitar kediaman Amma Toa. Warga memperlihatkan sawah tempat para komunitas Amma Toa menanam padinya. Terletak di bawah bukit tempat kami mengamati persawahan itu. Terlihat subur dan menghijau di mana areal persawahan itu diapit oleh dua bukit.
Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind.
Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 5.
Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 17.
Real adalah mata uang yang masih berlaku di dalam kawasan ini. Meskipun keberadaannya sekarang mulai tergantikan dengan mata uang rupiah akibat kegiatan ekonomi masyarakatnya yang lintas kawasan.
Tamzil Ibrahim, Ibid, hal. 11.
Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind.
Lihat Lihat http://etalasehijau.blogspot.com/pesan-lestari-dari-negeri-ammatoa.html.
Mengingat bahasa Konjo sebahagian besarnya bahasa Makassar, maka penulis mengasumsikan bahwa kata Patuntung itu berasal dari bahasa Makassar juga. Olehnya itu, penulis mencoba mengartikan kata itu dan mencoba mencari hubungan dengan prinsip Patuntung yang penulis dapat dari internet dan dari hasil wawancara dengan pemuka adat.
Menurut penulis, teori “Keserakahan Manusia” adalah teori yang menyatakan bahwa manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara eksploitatif tanpa memperhatikan keberlangsungan sumber daya tersebut. Penulis tidak bermaksud untuk membuat teori baru tanpa landasan penelitian ilmiah, melainkan bermaksud menggambarkan sifat manusia yang menganut paham kapitalisme.
Ungkapan seperti ini adalah analogi (persamaan nilai) yang dapat diartikan bahwa jangan pernah memandang siapa orang yang mengatakan (melakukan) itu, tapi memperhatikan apa yang dikatakan atau dilakukan orang itu.
Lihat http://www.fkkm.org/PusatData/index.php?action=detail3&page=22&lang=ind.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar